Setelah tertunda-tunda sekian hari lamanya akhirnya aku memutuskan kepastianku untuk berangkat mendaki ke Gunung Lawu. Sudah 1 bulan aku rencanakan bersama 3 orang teman yang lain yaitu Imam, Rangga dan Anggara untuk pergi ke sana pada tanggal 17 – 19 Januari 2009. Namun akhirnya ditunda pada tanggal 20 – 22 karena Anggara tidak bisa ikut sebab ada acara di kampus. Rencana kedua ini juga gagal karena Rangga pada tanggal tersebut ada Final Project yang harus diselesaikan. Maka tanggal tersebut kuputuskan untuk pergi mengikuti Diklat Arismaduta yang ke 10 di Gunung Budheg walaupun badanku masih terasa capek karena sebelumnya pada tanggal 17-19 aku menjadi panitia Diklatsar Praktek dan Ruang PLH Siklus ITS. Setelah mengikuti acar Diklat Arismaduta di Gunung Budheg, keesokan harinya aku harus berjibaku melawan dinginnya udara di Gunung Welirang (Semar & Pringgodani) untuk mengikuti Diklatsar Lapangan PLH Siklus ITS XXI pada tanggal 23 -28 januari. Hmm benar-benar gak punya capek apa nih orang!!edan tenan!! :P Esok lusanya aku benar-benar berangkat untuk melakukan pendakian Gunung Lawu walaupun hanya dengan si Imam doank.
Sabtu, 31 Januari 2009
Aku membuka mata dari tidur pendekku pada pukul 04.00 WIB. Setelah itu dengan sedikit menggigil kedinginan aku berjuang untuk mandi agar tubuhku tidak kembali mengantuk. Setelah sholat shubuh aku langsung bergegas ke pertigaan Gebang Putih untuk menunggu len. Sekitar pukul 05.00 pagi akhirnya len yang ditunggu-tunggu pun datang menghampiriku. Bapak sopir len itu sebenarnya mau mengawali start mencari penumpang di Keputih. Tapi setelah bertanya kepada diriku yang akan pergi ke stasiun Gubeng maka Bapak itupun akhirnya bersedia mengantarkan aku. Hehe..Beruntung banget diriku. Akupun tiba di Stasiun Gubeng pada pukul 05.30 WIB. Setelah itu pada pukul 06.00 kereta Pasundan membawaku pergi menuju stasiun Solo Jebres.
Imam yang berangkat dari Tulungagung bertemu aku di Stasiun Kertosono pada pukul 07.40 WIB. Dia menemuiku dengan membawa satu bungkus nasi pecel yang sudah aku pesan sebelumnya untuk sarapan pagiku. Aku lalu dengan lahapnya menyantap nasi pecel itu karena sudah kelaparan dari tadi.
Perjalanan kita sempat tertunda di Statsiun Sragen karena dari kabar yang kudengar bahwa jalur rel di sebelah barat Kota Sragen mengalami masalah yaitu banjir yang menggenang sejak hari kemarin. Selain itu kereta ini harus menunggu kereta lain dari arah barat. Hufht..Sembari melepas penat akupun berjalan-jalan di pasar tradisional dekat Stasiun Sragen. Barang-barang yang ada di pasar itu sangat beragam. Mulai dari alat-alat kebutuhan rumah tangga, pakaian, sampai jajanan khas pasar. Namun aku di sana hanya menyempatkan diri untuk melihat-lihat saja berhubung uang yang ku bawa sangat menipis, hanya cukup untuk transport dan makan selama pendakian.
Perjalanan pun kembali dilanjutkan setelah menunggu kedatangan kereta eksekutif lainnya di Stasiun Sragen. Kereta Pasundan yang tujuan terakhir adalah Stasiun Kiara Condong Bandung itu melewati Sungai Bengawan Solo yang airnya tengah meluap. Pada waktu itu cuaca sedang hujan namun tidak begitu deras. Dari seorang penumpang di kereta kudengar kabar bahwa kemarin malam di kawasan Tawamangu terjadi longsor dan menimbun sebuah rumah serta menewaskan 1 buah keluarga. Hiih jadi bergidik ngeri membayangkannya. Aku berpikir harus berhati-hati selama melakukan pendakian ke Lawu karena mungkin di saat cuaca ekstrim seperti sekarang di sana juga rawan longsor. Kemudian aku juga mendapat kabar dari Fery, senior di P.A arismaduta bahwa pada tanggal 23 Januari yang lalu ada seorang pendaki yang tewas akibat hipotermia dan masuk angin di Pos 3 Cemoro Kandang. Aku menjadi takut dan khawatir membayangkan yang tidak-tidak terjadi kepada kita berdua. Namun segera kubuang jauh-jauh pikiran negatif itu karena pikiran yang negatif hanya akan melemahkan perasaan kita dan membuat kita menjadi tidak punya semangat.
Welcome to the Solo City!!!
Sekitar pukul 13.30 WIB kita ahirnya tiba di Stasiun Solo Jebres. Aku dan Imam lalu menunaikan sholat di mushola stasiun sbelum melanjutkan perjalanan ke Tawamangu. Dari informasi yang kuperoleh dari seorang penjual makanan di stasiun, jalur bus Solo – Tawamangu terdekat berada sekitar 1 km lagi dari stasiun. Kita berdua kemudian berjalan kaki dari stasiun ke tempat pemberhentian bus. Karena kondisi keuanganku dan Imam sudah kritis, maka kemudian aku dan imam mencari ATM terdekat untuk mengambil uang. Setelah mencari ke sana – sini akhirnya aku dan Imam menemukan ATM bersama di Rumah Sakit Dr. Oems. Setelah itu kita kembali berjalan menuju ke arah trayek bus. Kita melewati sebuah jembatan sungai Bengawan Solo yang airnya tengah meluap. Tak jauh dari jembatan tersebut kita akhirnya sampai di jalur trayek bus. Beruntung sekali karena tak lama kemudian Bus jurusan Solo – Tawamangu tiba-tiba sudah muncul di hadapan kita. Segera saja aku dan Imam masuk ke dalam bus yang berwarna biru tersebut. Untungnya masih ada beberapa bangku yang kosong.
Bus tua itu melaju dengan kecepatan sedang ke arah Tawamangu. Di dalam bus itu kita berdua menikmati pemandangan cewek-cewek SMA yang lagi berjubelan akan pulang ke rumahnya masing-masing. Hehehe...Kebetulan pada saat itu memang sudah jamnya anak sekolah untuk pulang. Pemandangan di luar kaca jendela bus pun tak kalah menarik. Hamparan pematang sawah nan hijau membentang luas cukup menyejukkan pikiranku. Perjalanan ke Tawamangu menurut estimasiku sekitar kurang lebih 90 menit. Karena jarak Solo – Tawamangu skeitar 40 km dengan jalan menanjak berliku-liku. Ongkos bus itu menuju Tawamangu cukup murah hanya Rp. 7.500,- per orang. Tak terasa perjalanan sudah sampai di daerah Tawamangu, dimana medannya sudah menunjukkan dataran tinggi dan jalannya pun berkelok-kelok . Daerah ini didominasi oleh hutan produksi perkebunan rakyat. Kawasan Tawamangu merupakan kawasan yang terkenal dengan agroindustri dan beberapa wisata alamnya yang menarik. Berketinggian kurang lebih 1.300 mdpl kawasan ini memiliki banyak sekali potensi wisata alam yang eksotis, diantaranya adalah air terjun grojogan sewu dll.
Pada pukul 15.30 WIB akhirnya kita sampai di Terminal Tawamangu. Dari terminal ini menuju Cemoro Sewu menurut informasi dari seorang penumpang bus dapat ditempuh kurang lebih 1 jam dengan menggunakan angkutan umum yang berwarna abu-abu. Pada waktu itu aku dan Imam yang sudah kelaparan terlebih dahulu mengisi bahan bakar perut kami di pedagang nasi di depan terminal. Lebih tepatnya di depan persis Polsek Tawamangu. Di sana ibu pedagang itu menyediakan berbagai jajanan tradisional dan nasi sumpil khas Jawa Timur. Aku cukup merogoh kocek Rp. 4.000 untuk membayar nasi sumpil, teh hangat dan 2 buah gorengan. Hmm sangat murah sekali kan!! J
Aku dan Imam lalu bergegas menuju angkutan umum ke arah Cemoro Sewu yang telah menanti di depan mata. Tips untuk menumpang angkutan umum dari Tawamangu menuju Cemoro Sewu ialah carilah angkot yang berada di luar terminal. Karena jika menumpang dari dalam terminal, akan menungu penumpangnya penuh terlebih dahulu baru bisa berangkat. Sedangkan biasanya yang di luar terminal lebih cepat berangkatnya walaupun dengan sedikit penumpang. Biasanya angkot yang menuju Cemoro Sewu berwarna abu-abu atau perak dengan tarif per orang Rp. 5000,-. Di dalam angkot yang kami tumpangi didominasi oleh para ibu-ibu yang tampaknya selesai belanja atau berjualan di pasar Tawamangu. Ada yang membawa sayur-mayur maupun barang-barang kebutuhan pokok rumah tangga lainnya. Namun kemudian kita berdua terpaksa dialihkan ke angkot yang lain di tengah jalan karena angkot yang kami naiki tidak sedang menuju Cemoro Sewu melainkan akan mengantar beberapa ibu-ibu dengan barang dagangannya untuk kembali ke rumah. Terpaksa aku dan Imam berpindah angkot. Ternyata di dalam angkot yang baru saja kita naiki terasa lebih asyik karena di dalamnya full musik bo’!! Kita pun menjadi semakin enjoy menikmati perjalanan ke Cemoro Sewu.
Walaupun berada di dalam angkot tubuh kita ternyata masih terasa kedinginan, karena di luar sana kabut tebal mengepung mobil angkot yang kunaiki. Di sisi kanan- kiri jalan jajaran losmen dan villa masih mendominasi. Namun warung-warung yang menjajakan sate kelinci juga tak kalah banyaknya. Beberapa kali, mobil angkot kami berpapasan dengan bapak-bapak yang bekerja sebagai penyewa jasa kuda. Hmm jadi pengen naek kuda keliling-keliling Tawamangu J
Laju mobil angkot itu perlahan berkurang kecepatannya ketika melewati belokan-belokan tajam memasuki kawasan hutan mendekati Cemoro Sewu. Ternyata di kawasan tersebut merupakan daerah rawan longsor. Jadi semua kendaraan harus ekstra hati-hati ketika melalui kawasan ini. Cuaca di luar sana tiba-tiba berubah menjadi ekstrim. Hujan dan angin menerpa mobil angkot kami. Kulihat di luar sana sepasang muda-mudi yang mengendarai sepeda motor dibuat basah kuyup oleh hujan tersebut. Memang kawasan Tawamangu yang menyejukkan dan panorama almnya yang indah merupakan kawasan yang sangat cocok untuk dijadikan ajang bermesraan bagi muda-mudi yang dimabuk asmara. Namun ingat ya jangan sampe keblabasan yahh..ntar masuk jurang..lohh!!!wkwkwkw :P
Selang waktu berlalu, tak terasa mobil yang kami tumpangi melintas di depan Cemoro Kandang yang merupakan Base Camp perijinan pendakian Gunung Lawu yang terletak di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Sedangkan pos Cemoro Sewu terlatak di Kabupaten Magetan Jawa Timur. Sekitar 300 meter dari Cemoro Kandang kita melewati sebuah tugu perbatasan antara Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dan akhirnya laju mobil angkot itu berhenti di sebuah tempat yang dinamakan CEMORO SEWU!
Waktu di layar HP-ku telah menunjukkan pukul 16.35 WIB. Aku dan Imam lalu melangkahkan kaki menuju ke pos perijinan pendakian Gunung Lawu. Di pos perijinan itu kami bertemu dengan seorang bapak yang mengenakan pakaian adat Jawa dan topi blangkon. Kukira beliau adalah penjaga pos perijinan namun ternyata bukan. Kita malah disuruh mencari petugas pos perijinannya yang berada di warung sebelah. Setelah dicari-cari akhirnya ketemu juga tuh orang. Wah ngacir kemana ente mas barusan :P. Di loket perijinan aku kemudian ditanya ditanya identitasnya dan jalur pendakian yang ditempuh. Sebuah KTP dan uang retribusi Rp. 5000, - aku keluarkan dari dompet untuk memenuhi proses registrasi. Aku lalu bertanya kepada penjaga pos itu mengenai jalur pendakian dari base camp Cemoro Sewu hingga ke puncak Lawu. Kata beliau jalurnya cukup jelas, ada papan petunjuknya. Beliau juga menambahkan bahwa di perjalanan nanti di shelter pos 1 s/d 3 kira – kira kemungkinan akan bertemu pendaki lainnya. Karena rombongan pendaki asal Madiun baru saja naik. Kita berdua lalu berpamitan kepada beliau dan segera melangkahkan kaki menuju puncak impian, PUNCAK HARGO DUMILAH.
Rinai-rinai hujan gerimis perlahan tampak menghilang di kawasan Cemoro Sewu. Menyisakan mutiara-mutiara kecil yang dengan lembut menetes dari dedaunan dan lumut pohon cemara dan sesekali mengenai wajah kami. Suasana di sekitar masih didominasi oleh pohon cemara gunung. Sesuai dengan namanya jalur Cemoro Sewu (Cemara Seribu) adalah kawasan yang banyak ditumbuhi oleh pohon cemara. Daerah ini menurut referensi berada di ketinggian ± 1600 mdpl. Jika Puncak Hargo Dumilah berketinggian 3265 mdpl, berarti ketinggian yang harus kami daki adalah ± 1665 mdpl lagi. Wow!!Menurut catatan perjalan yang aku baca, Estimasi perjalanan untuk sampai ke Hargo Dalem diperlukan waktu ± 6 jam lagi. Wah..wah..cukup lama juga ya!! Hmm..
Jalur pendakian Cemoro Sewu yang kulewati sudah tertata rapi dan terlihat jelas karena memang ada papan petunjuknya untuk sampai ke Puncak. Di sebuah perladangan sawi kita berhenti sejenak untuk memotret bingkai alam yang sangat menakjubkan pada sore itu. Ternyata di daerah tersebut banyak pohon besar dan kering yang merupakan bekas kebakaran hutan yang melanda jalur tersebut beberapa bulan yang lalu. Tak terasa sekitar 40 menit kemudian, berjalan dari base camp Cemoro Sewu kita akhirnya sampai di Pos 1. Di jam HP-ku menunjukkan pukul 17.39 WIB. Hari sudah beranjak gelap. Senja keemasan di ufuk barat . Di Pos 1 aku dan Imam hanya sinaggah sejenak untuk sekedar melemaskan otot-otot. Ternyata di pos tersebut juga terdapat sebuah warung yang pada hari-hari besar tertentu digunakan untuk tempat berjualan para pedagang makanan. Mengingat hari sudah mulai gelap kita meneruskan perjalanan dengan sedikit memaksakan untuk mempercepat langkah kaki. Beberapa kali di perjalanan kita berhenti sesaat hanya untuk sekedar berfoto-foto narsis dan istirahat melepas lelah. Aku lalu mendokumentasikan sunset yang indah di ufuk barat dengan merekamnya menggunakan kamera digital milik kakaknya Imam. Subhanallah betapa agung dan indahnya alam yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa. Inilah yang menjadi alasan dan tujuanku mengapa sampai sekarang aku tergila-gila dengan kegiatan kepencintalaman terutama mendaki gunung. Because it’s there..
Jalan setapak berbatu yang kulewati makin menanjak menuju pos 2. Rasa letih dan lelah pun menyerangku membuat sesekali tubuhku harus berhenti sejenak untuk sekedar minum dan melemaskan otot yang pegal. Pada waktu itu hari suasana sekitarku terlihat remang-remang. Cahaya senja merah yang merona beberapa waktu lalu kini pudar tergantikan dengan pekatnya malam. Kita berdua mau tidak mau harus mengeluarkan senter atau headlamp untuk menerangi jalan. Di sebuah jalan landai yang vegetasinya terbuka sekali lagi langkah kaki kita harus terhenti untuk mengeluarkan jaket dan poncho sebagai penghangat tubuh. Memang pada saat itu kabut gerimis menerpa tubuh kita. Hampir 1 jam berjalan akhirnya pada pukul 18.37, kita berdua sampai di pos 2. Pos ini dinamakan pos Watu Gedek yang berketinggian ± 2300 mdpl. Ternyata di pos tersebut kita berjumpa dengan rombongan pendaki yang sedang beristirahat melepas lelah. Tak kusangka ternyata salah satu pendaki yang ada di pos tersebut ada yang kukenal. Dia adalah Mas agung yang berasal dari Bandung. Aku kenal dengannya saat mengikuti Lomba Ujung Pangkah Water Bird Watching Race 25-27 April 2008 lalu. Dia merupakan delegasi dari tim Pengamat Burung Universitas Padjajaran yang juga aktif dalam organisasi lingkungan Konus Bandung. Di pos itu aku dan Imam memutuskan untuk melakukan sholat magrib dan isya. Kebetulan Mas agung dan 1 orang temannya juga mau sholat jadi kami berempat sholat berjamaah. Teman-Teman Mas Agung yang lain pada saat itu sedang tidur berselimutkan sleeping bag di atas lantai. Mungkin mereka tengah kecapekan. Aku kemudian mengeluarkan sebatang coklat untuk menambah kalori energi. Aku membagi coklat itu sebagian kepada Imam. Lalu tiba-tiba saja terdengar bunyi sms dari HP-ku. Aneh di tempat setinggi dan terpencil di hutan kayak gini masih ada sinyal! Ternyata itu adalah sms dari Fery yang menanyakan pendakianku sudah sampai mana. Lalu ku balas sms tersebut kalau aku dan imam sudah sampai Pos 2. Tak lama kemudian dia membalas sms-ku, “ Busyeet, mlakumu banter banget koyok kereta eksekutif wae”, wakakaka aku ketawa melihat smsnya. Ya iyalah bro lha wong pendakian cuman dua orang & semuanya cowok gimana nggak ngebut jalannya. Haha.. J
Setelah puas mengganjal perut dengan coklat dan biskuit, aku dan imam kembali melanjutkan perjalanan. Akupun berpamitan kepada Mas agung dkk yang ternyata mereka akan berangkat melanjutkan perjalanan pada pukul 23.00 WIB bareng dengan beberapa pendaki asal Solo. Kita berdua kembali dicekam hawa dingin Gunung Lawu yang semakin menjadi-jadi. Jalan berbatu yang kulalui seperti layaknya anak tangga juga memaksa langkah kakiku beberapa kali terhenti. Ternyata memang benar dari informasi di Catper yang ku baca, semakin mendekati pos 3 bau belerang sempat beberapa kali tercium oleh hidungku. Alhamdulillah akhirnya aku dan Imam sampai di Pos 3 pada pukul 19.55 WIB. Ternyata di pos tersebut sudah ada dua dome yang berdiri. Dimana di dalamnya terdengar suara dengkuran keras pendaki yang tertidur lelap. Kita berdua pun hanya beristirahat sejenak disana dan tak ingin mengganggu para pendaki yang sedang terlelap tidur tersebut.
Langkah kakiku kembali menapak jalur pendakian Lawu yang begitu sunyi. Hawa keangkeran gunung ini begitu terasa mencekam penuh suasana mistis yang membuat aku merinding sepanjang perjalanan. Gelap! Hanya ada cahaya senter kecil kita yang menerangi jalan setapak sunyi itu. Kabut yang pekat disertai gerimis pun kemudian menampar-nampar tubuh kita yang mulai ringkih. Selang waktu kemudian angin yang kencang mendera tubuh kita, membuat badanku menggigil kedinginan. Begitu luar biasa rintangan yang harus kami lalui menuju pos selanjutnya. Menurut catper yang kubaca, pos 4 yang menjadi tujuanku berikutnya merupakan sebuah cerukan pada tebing tinggi yang menjulang. Namun setelah kita cari-cari ternyata tidak ketemu. Pada suatu jalan aku melihat jalur kecil turun kearah kiri yang agak curam. Dan aku mendengar gemericik air yang kuduga mungkin inilah yang mungkin dinamakan Sumur Jolotundo. Sumur ini berbentuk gua konon banyak digunakan untuk tempat ritual atau bersemedi orang-orang yang mencari wangsit pada bulan atau hari-hari tertentu. Tak jauh dari percabangan itu, akhirnya kita berdua sampai pada tempat yang datar dimana terdapat tonggak-tongggak kayu berbentuk gubuk yang sepertinya merupakan bekas warung. Setelah kita kroscek di catper ternyata tempat itu adalah Pos 5. Berarti sebentar lagi kita berdua akan sampai di Sendang Drajat.
Kita berdua sampai di pos 5 pukul 20.55 WIB. Berarti sudah kurang lebih 1 jam perjalanan yang dilalui dari pos 3. Aku dan Imam melakukan orientasi medan sejenak di daerah pos 5 tersebut, karena di situ terdapat banyak percabangan yang membingungkan. Ada jalur yang menuju ke arah kiri. Ada jalur yang menuju lurus dan ke arah kanan. Sekali lagi kita harus membuka catper dan peta untuk memastikan jalan mana yang harus ditempuh.
Pada saat itu kita berdua sedang diserang badai. Dari pos 3 sampai dengan pos 5 ini,hujan angin disertai kabut tak henti-hentinya menerpa tubuh lemah kita. Bahkan jarak pandang pun hanya sampai sekitar 5 s/d 10 m ke depan. Untungnya kita berdua sudah sampai di pos 5 dengan selamat. Aku dan Imam masih melakukan orientasi medan, mencari-cari jalan yang menuju ke Sendang Drajat. Aku dan Imam akhirnya duduk sejenak merilekskan pikiran disebuah batang kayu sembari memutuskan kemana kita akan melangkah. Menurut catper yang kubaca, jalan menuju Hargo Dalem setelah pos 5 adalah pada percabangan yang lurus dan agak sedikit turun kebawah. Setelah itu jalan relatif datar mengitari sebuah bukit ke arah kiri. Sedangkan pada percabangan ke arah kiri adalah jalur menuju ke arah Pawon Sewu, dimana tempat ini berbentuk tatanan atau susunan batu yang menyerupai candi. Konon dahulu kala digunakan bertapa para abdi Raja Prabu Brawijaya V.
Ternyata letak Sendang Drajat tak jauh dari pos 5 menurut catper. Dan benar saja, setelah kita telusuri tepat persis di bawah jalan menurun terdapat sebuah kolam yang di depannya berdiri 2 buah bangunan yang nampaknya merupakan warung penjual makanan. Aku dan Imam sampai di Sendang Drajat pukul 21.04 WIB. Suasana mistis menyelimuti tempat itu. Aroma wewangian dupa dan kemenyan tercium semerbak.Tampak persis di depan kolam Sendang Drajat beberapa sesajen berserakan dan beberapa dupa tertancap di tanah, namun bara apinya telah padam. Bulu kudukku seketika merinding merasakan suasana tersebut. Mungkin si Imam temanku juga merasakan hal yang serupa. Aku dan Imam melihat sekeliling, hanya terdengar suara dengkuran orang yang setelah kita selidiki, ternyata itu adalah beberapa rombongan pendaki yang tengah istirahat di dalam dome di beberapa cerukan kecil. Kita tak ingin mengusik lelap istirahat mereka dan segera pergi meninggalkan Sendang Drajat menuju Hargo Dalem.
Jalan setapak yang kita lewati menuju Hargo Dalem tampak agak lebar. Namun kita perlu ekstra waspada karena di sebelah kanan terdapat jurang yang menganga. Setelah tadi di Sendang Drajat Badai perlahan mereda. Kini kita kembali di sapa oleh badai. Tubuhku kembali menggigil karena reaksi terhadap dinginnya malam itu. Rumpun-rumpun bunga cantik edelweis yang tengah bermekaran masih menjadi teman setia kita selama perjalanan menuju Hargo Dalem. Namun di sebuah percabangan kita kembali dibingungkan oleh jalur mana yang harus kita pilih. Pada waktu itu terdapat 4 percabangan. Ada yang kekiri, lurus menanjak, kanan menanjak dan satu lagi ke kanan mengitari punggungan. Aku dan Imam lagi-lagi harus mengambil keputusan yang sulit. Namun setelah kita baca dari catper dan peta, sesuai lebar jalan serta kondisi topografi medan akhirnya kita memilih jalur yang kearah kanan mengitari punggungan yang lebar jalurnya sama seperti jalur sebelumnya. Menurut catper yang kubaca mungkin jalur-jalur yang lain itu menuju ke Telaga Kuning dan langsung ke arah Puncak tanpa melewati Hargo Dalem terlebih dulu.
Langkah kakiku kembali berhenti karena ada dua percabangan di depanku. Kali ini kami dibuat pusing karena lebar jalur antara ke kanan dan ke kiri hampir sama. Kini aku dan Imam benar-benar diuji nyalinya. Berhasilkah kita mencari kitab suci ke arah barat!!Hehe..emangnya Sun Go Kong apa!! :P . Sekali lagi kita harus membuka primbon. Hmm begini kata primbon, “untuk menuju ke arah Hargo Dalem harus mengitari sebuah bukit ke arah kiri”. Jadi kita berdua memutuskan untuk bergerak ke arah kiri. Ok lah kalo begitu!cabutt...
Setelah itu sampailah kita pada sebuah warung kecil, dimana sudah ditinggal oleh pemiliknya. Mungkin warung itu dibuka pada hari-hari besar tertentu saja pikirku. Tak jauh terdapat anak tangga menuju ke arah atas. Aku dan Imam penasaran kemanakah ujungnya anak tangga ini? Imam yang berjalan di depanku kemudian memeriksa ada apa gerangan di atas sana. Apakah menuju Hargo Dalem ataukan bukan. Beberapa kali kakiku melangkah, aku dikejutkan oleh suara Imam tiba-tiba kaget. “Haahh!”, teriak imam. He What’s up bro??ngeliat setan lo??Masak setan takut sama setan??wkwkwk..tanyaku sembarangan. Imam lalu menjawab,”udahlah pokoknya jangan kesana, ngeri banget!!mendingan kita balik aja ke Sendang Drajat daripada nyasar. Lagian ini sudah larut malam. Akupun menuruti saja perintahnya. Namun aku jadi penasaran, ada apakah gerangan diatas sana. Akhirnya aku memberanikan diri untuk melihatnya. Deng-deng-deng!!Whuaa!!Ternyata ada sebuah bangunan mirip kuil cina. Loh kok kuilnya biksu Tom Sam Cong ada di sini!!Sejak kapan pindah ke Gunung Lawu??wkwkwk geblek!! Aku jadi merinding karena beberapa saat kemudian kembali tercium aroma dupa yang harum dan menyengat. Langsung saja aku dan Imam ngacir kembali ke Sendang Drajat karena takut kesasar dan “disasarkan”. Hiihhh ngeriii...
Begitu tiba di Sendang Drajat, aku dan Imam segera mendirikan dome di depan sebuah warung yang tepat menghadap kolam mata air. Kita berencana ngecamp di tempat ini dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Puncak Hargo Dumilah keesokan harinya. Badai yang menyerang kita tampak sudah reda kembali. Hanya tinggal angin kencang yang begitu dingin menerpa dome kita. Pakaian yang kukenakan terasa sedikit basah walaupun tadi sudah terlindungi oleh mantel. Akupun mengeluarkan 2 pakaian lagi untuk kukenakan agar tubuhku terasa hangat. Setelah itu aku dan Imam terlelap tidur sampai menjelang esok hari.
Bersambung ke : 2 Hari Menuju Puncak Hargo Dumilah Lawu (2)
No comments:
Post a Comment
Untuk siapa saja yang mengunjungi blog ini silahkan beri komentar, kritik, atau saran demi perbaikan blog supaya lebih bagus hasilnya kedepan.
Terimakasih.